Hikayat Bedug, Bermula dari Laksamana Cheng Ho Hingga Jadi Ikon Budaya Islam Nusantara

Hiburan —Senin, 26 Apr 2021 14:36
    Bagikan  
Hikayat Bedug, Bermula dari Laksamana Cheng Ho Hingga Jadi Ikon Budaya Islam Nusantara
Keberadaan bedug kemudian dikaitkan dengan Islamisasi yang mulai intensif dilakukan Walisanga sekitar abad ke-15/16 (Foto: pinterest)

DEPOSTPANGANDARAN

Kita pasti sudah tak asing lagi dengan Bedug, karena sebagian besar masjid, mushala, maupun langgar di Indonesia pasti memiliki sebuah bedug, yang biasanya digunakan sebagai pertanda waktu sholat, yang kadang juga didampingi oleh kentongan.

Menurut arkeolog, akar sejarah bedug sudah dimulai sejak masa prasejarah, tepatnya zaman logam. Saat itu manusia mengenal nekara dan moko yang terbuat dari perunggu, berbentuk seperti dandang dan banyak ditemukan di Sumatra, Jawa, Bali, Sumbawa, Roti, Leti, Selayar, dan Kepulauan Kei. Fungsinya untuk acara keagamaan.

BACA JUGA: Jangan Malas Puasa! Ini Dia 4 Manfaat Puasa Bagi Sistem Imun Tubuh

Pada masa Hindu, jumlah bedug masih terbatas dan penyebarannya belum merata ke berbagai tempat di Jawa. Dalam Kidung Malat, pupuh XLIX, disebutkan bahwa bedug berfungsi sebagai media untuk mengumpulkan penduduk dari berbagai desa dalam rangka persiapan perang. Kitab sastra berbentuk kidung, seperti Kidung Malat, ditulis pada masa pemerintahan Majapahit.

Saat itu nama “bedug” belum biasa digunakan. Istilah lainnya adalah “teg-teg”, kelompok membraphone menyerupai bedug. Fungsinya sebagai pemberi tanda, atau petanda bunyi (time signal). “Karena Kidung Malat menyebut bedug dan teg-teg, maka keduanya tentu berlainan. Teg-teg sejenis genderang dengan ukuran lebih besar daripada bedug."

BACA JUGA: Pemkot Bandung Mendukung Pelaksanaan Bulan Dana PMI

Lalu, seorang penjelajah Belanda, Cornelis de Houtman (1595-1597) dalam D’eeste Boek –sebuah catatan pelayaran Belanda yang pertama ke Nusantara– mencatat keberadaan bedug, bonang, gender, dan gong. Houtman menulis bahwa bedug populer dan tersebar luas di Banten.

Di setiap perempatan jalan terdapat sebuah genderang yang digantung dan dibunyikan dengan tongkat pemukul yang tergantung di sebelahnya. “Bunyinya menjadi tanda mengenai adanya bahaya, atau merupakan tanda waktu yang dibunyikan pada pagi hari, tengah hari, atau tengah malam.”

BACA JUGA: 'The Great Depression', Krisis Ekonomi Terhebat di Amerika yang Mengakibatkan Lahirnya Hari Pengangguran Internasional

Fakta lain pun menyebutkan, bahwa orang China juga punya andil dalam sejarah bedug di Nusantara. Konon bedug masuk ke Nusantara pada masa ekspedisi Cheng Ho pada abad ke-15. Cheng Ho dan bala pasukannnya pernah datang sebagai utusan dari maharaja Ming. Dialah yang mempertunjukkan bedug di Jawa ketika memberi tanda baris-berbaris ke tentara yang mengiringinya.

Konon, ketika Cheng Ho hendak pergi dan memberikan hadiah, raja dari Semarang mengatakan bahwa dirinya hanya ingin mendengarkan suara bedug dari masjid. Sejak itulah bedug menjadi bagian dari masjid seperti halnya bedug di kuil-kuil di China, Korea dan Jepang, sebagai alat komunikasi ritual keagamaan.

BACA JUGA: Resep Minuman, Cara Membuat Minuman Berbahan Dasar Coklat

Keberadaan bedug kemudian dikaitkan dengan Islamisasi yang mulai intensif dilakukan Walisanga sekitar abad ke-15/16. Bedug ditempatkan di masjid-masjid. Fungsinya: mengajak umat Islam melaksanakan shalat lima waktu. Ini karena, seperti ditulis Kees van Dijk, “Perubahan Kontur Masjid”, dalam Peter J.M. Nas dan Martien de Vletter, Masa Lalu dalam Masa Kini: Arsitektur di Indonesia, sebelum abad ke-20 masjid-masjid di Asia Tenggara tak memiliki menara untuk mengumandangkan azan. Sebagai gantinya, masjid-masjid dilengkapi sebuah genderang besar (bedug), yang dipukul sebelum azan dikumandangkan.

Di sejumlah masjid, bedug diletakkan di beranda atau di lantai atas. Ada juga yang diberi rumah kecil, terpisah dari masjid. Jika masjid memiliki gerbang besar, bedug sering diletakkan di atasnya. “Suara bedug, pada waktu belum ada pengeras suara, lebih nyaring daripada suara manusia, dan menjadi alat komunikasi yang penting untuk menandai dan merayakan momen-momen keagamaan."

BACA JUGA: Sinopsis Drama Korea Vincenzo Cassano Episode 18, Jan Han Soek Direktur Babel Masuk Penjara

Masjid juga sering memiliki alat komunikasi lain sebagai teman bedug kentongan, yakni semacam tetabuhan yang terbuat dari batang kayu. Alat ini, bersama bedug, digunakan untuk memperingatkan orang-orang sebelum azan berkumandang.

Memukul bedug sepertinya merupakan tradisi lama,penggunaan bedug untuk memanggil orang-orang datang ke masjid. Suaranya terdengar bermil-mil sampai ke pegunungan.

Di balik suara yang dihasilkan ada filosofinya. “Suara dari Kentongan yang berbunyi ‘Thong – thong – thong’ itu diartikan, 'Iki Lho, Musholane-Masjid e isih Kothong. Ndang Teko, wes mlebu Wayahe.' (Ini Mushola-Masjidnya masih Kosong. Bergegaslah datang, sudah masuk Waktu Sholat). Sholat awal waktu itu lebih utama.

BACA JUGA: Hikayat Bedug, Bermula dari Laksamana Cheng Ho Hingga Jadi Ikon Budaya Islam Nusantara

Kalau suara bedung itu terusannya dari ‘Kothong’ ‘Deng – Deng – Deng’ diartikan, ‘Mushola-Masjide Isih Sedeng' (Mushola- Masjidnya masih cukup/muat). Maksudnya, kita disuruh bergegas datang ke mushola-masjid karena tempat ibadah umat Islam masih kosong dan keduanya tempatnya masih cukup (muat) untuk menampung jama’ah untuk sholat berjama’ah.

Selain untuk memberi tahu warga desa atau kampung bahwa waktu shalat sudah tiba, pukulan bedug juga menandai awal dan akhir puasa serta hari raya haji. Kebiasaan itu umum berlaku di seluruh pelosok Nusantara. (EK)

Editor: Admin
								
    Bagikan  

Berita Terkait