Tari Ronggeng Pangandaran, Kesenian yang Lahir dari Sebuah Misi Balas Dendam

Pendidikan —Selasa, 25 May 2021 11:50
    Bagikan  
Tari Ronggeng Pangandaran, Kesenian yang Lahir dari Sebuah Misi Balas Dendam
Dalam literatur setidaknya ada empat versi yang melatari kelahiran seni Ronggeng Gunung, tapi yang paling populer adalah kisah Anggalarang dan Dewi Siti Samboja, istrinya. (Foto: Dispar Kab.Ciamis)

PANGANDARAN, DEPOSTPANGANDARAN

Ronggeng merupakan salah satu kesenian tari yang lahir dan berkembang di Tatar Pasundan, atau tepatnya di Pangandaran, Jawa Barat. Dalam tiap pertunjukannya, kita bisa melihat beberapa pasangan saling bertukar ayat-ayat puitis sambil menari dan diiringi musik rebab, biola, atau pun gong.

Dilihat dari sudut kebahasaan, Ronggeng ini berasal dari kata renggana yang berarti perempuan pujaan, dalam bahasa Sansekerta. Tak diketahui pasti bagaimana asal mula kesenian Ronggeng ini berkembang di Pangandaran hingga dapat bertahan seperti saat ini.

Baca juga: Catatan Sejarah komputer Generasi Kelima,Ini Penjelasannya

Tetapi, seperti ditulis Gilang Campaka lewat skripsinya yang berjudul ‘Lagu Kudup Turi dalam kesenian Ronggeng Gunung di Ciamis Selatan’, diperkirakan kesenian ini sudah ada sejak abad ke-7, pada masa kekuasaan Kerajaan Galuh. Tariannya berperan sebagai penghibur tamu kerajaan yang berkunjung.

Namun, ada versi lain yang mengungkap. Seperti menurut Ria Andayani lewat bukunya, ‘Ronggeng Gunung: Menggali Seni Tradisi bagi Pengembangan Pariwisata dan Seni Modern di Kabupaten Ciamis’, bahwa tarian ini diciptakan oleh Raden Sawung Galing yang merupakan bala bantuan dari Galuh untuk menyelamatkan Pananjung yang kemudian menjadi raja.

Baca juga: Aktris Lee Da In Ternyata Salah Satu Keturunan dari Keluarga Kerajaan di Korea

Saat berkuasa, ia membuat tarian sebagai sarana hiburan resmi bernama Ronggeng Gunung. Seleksi penarinya pun cukup ketat, tak hanya harus cantik, namun harus mampu menari dan menyanyi, serta terpandang.

Ronggeng Gunung dan Misi Balas Dendam

Baca juga: Resep Masakan,Cara Membuat Ayam Coca Cola

Dikisahkan pula, dalam catatan dispar.ciamiskab.go.id setidaknya ada empat versi yang melatari kelahiran seni Ronggeng Gunung, tapi yang paling populer adalah kisah Anggalarang dan Dewi Siti Samboja, istrinya.

Pada saat Anggalarang hendak mendirikan sebuah kerajaan di daerah Pananjung (kini menjadi Cagar Alam Pananjung), ayahnya—Prabu Haur Kuning dari Kerajaan Galuh, mengingatkan bahwa daerah tersebut berbahaya karena dekat dengan markas perompak.

Baca juga: Ramalan Zodiak Hari Ini 25 Mei 2021, Sagitarius Hal yang Buruk Akan Kamu Rasakan

Namun, Anggalarang tetap bersikeras. Tak lama setelah kerajaan berdiri, kekhawatiran Prabu Haur Kuning pun terjadi. Kawanan bajak laut yang dipimpin Kalasamudra menyerang Kerajaan Pananjung. Dalam pertempuran yang tak seimbang, Anggalarang pun tewas.

Sementara istrinya berhasil melarikan diri. Dalam pelarian—bersama beberapa orang pengikutnya, Dewi Siti Samboja menyamar sebagai Ronggeng Gunung dan namanya diganti menjadi Dewi Rengganis. Mereka berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Setiap kali tampil, Dewi Rengganis selalu menyenandungkan kawih tentang kehilangan dan kepedihan hati, mengenangkan suaminya yang tewas di tangan bajak laut.

Baca juga: Ramalan Zodiak Hari Ini 25 Mei 2021, Leo Keputusanmu Saat Menjadi Penentu Saat Ini

Dalam penyamaran, Dewi Rengganis memburu Kalasamudra. Di sebuah pementasan di hadapan Kalasamudra, para pengiring Ronggeng Gunung ikut menari sambil menutup wajahnya dengan kain sambil memancing buruannya untuk bergabung dan hanyut dalam tarian. Saat Kalasamudra mulai tergoda dan ikut menari ke tengah lingkaran, ia lengah. Dewi Rengganis menikamnya dengan sebilah pisau. Kalasamudra tewas terkapar. Kematian suaminya pun terbalaskan.

Kesenian ini pun tercatat ada pada masa penjajahan oleh bangsa Eropa, termasuk Gubernur Jenderal Stamford Thomas Raffles dalam bukunya ‘The History of Java’. Ia menulis, bahwa Ronggeng merupakan pertunjukkan keliling yang dilakukan oleh perempuan yang berasal dari gunung. Pertunjukannya biasa dilakukan di ruang publik, bahkan di tempat tinggal para bangsawan dan penguasa kolonial.

Baca juga: Ladies,Jangan Jadi Pemalas!!Tahukah Kamu,Kebanyakak Tidur Dapat Menyebapkan Kamu Sulit Hamil Loh

Pada pementasan Ronggeng Gunung, perempuan memiliki banyak peran, seperti sebagai penari sekaligus penyanyi. Seorang Ronggeng juga berperan sebagai pemimpin sejumlah ritual acara yang melibatkan pementasan ini.

Perkembangan Ronggeng Pangandaran

Euis Thresnawaty dari Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Jawa Barat dalam ‘Raspi, Sang Maestro Ronggeng Gunung’ (jurnal Panjalu Vol.8 No 2 2016) menulis bahwa untuk menjadi seorang ronggeng tidak memiliki batasan umur.

Baca juga: Ramalan Zodiak Hari Ini 25 Maret 2021, Virgo Pasanganmu Butuh Kamu

Tidak mudah bagi setiap perempuan untuk menjadi ronggeng, karena memiliki seleksi ketat. Tetapi syarat berparas cantik tak lagi menjadi syarat penting untuk menjadi ronggeng seperti yang terjadi pada masa lalu.

Syarat itulah yang membuat profesi ronggeng hingga kini jadi langka. Kesulitan utama, menurut Euis, ialah kemampuan berolah vokal yang unik.

Baca juga: Resep Masakan,Cara Membuat Es Shanghai Segar

"Perempuan muda di Ciulu misalnya, lebih memilih menjadi penyanyi dangdut atau penaynyi organ tunggal daripada menjadi ronggeng," tulisnya. "Mereka tidak memiliki kesabaran lebih untuk mendapatkan kemampuan menyanyi seperti itu."

Seni Ronggeng Gunung yang sebelumnya menjadi sebuah ritual untuk kesuburan pertanian, kemudian berkembang seiring waktu. Nina Herlina Lubis dan Undang Ahmad Darsa dari Universitas Padjadjaran menulis, bahwa perkembangan kemudian diadakan.

Baca juga: Aktris Lee Da In Ternyata Salah Satu Keturunan dari Keluarga Kerajaan di Korea

Pada awalnya Ronggeng Gunung digunakan dalam ritual khususnya kesuburan pertanian, dalam perkembangannya menjadi seni pertunjukkan sebagai hiburan pasca bertani. Ketika panen usai, Ronggeng Gunung diadakan di malam hari sebagai rasa syukur.

Seperti menurut Nina dan Undang lewat ‘Perkembangan Ronggeng Sebagai Seni Tradisi di Kabupaten Pangandaran’, mengungkapkan Ronggeng Gunung berkembang menjadi Ronggeng Amen (disebut juga dengan Ronggeng Kidul). Kehadiran Ronggeng Amen lebih populer di kalangan masyarakat Pangandaran dewasa ini.

Baca juga: Kapolres Banjar Bagikan Masker Gratis Kepada Pedagang dan Masyarakat

Kepopuleran ini disebabkan karena penonton dapat ikut menari bersama ronggeng dan memberi saweran. Pementasannya pun dapat dicermati lebih meriah karena diiringi dengan gamelan kliningan dan berbagai tembang yang lebih modern.

Ronggeng Amen biasanya terdiri dari lima hingga tujuh ronggeng, dan belasan pemain musik. Penari Ronggeng Amen juga tidak berperan ganda sebagai pesinden.
Dalam hal gerakan, Ronggeng Amen juga tampak lebih bebas berekspresi dan inklusif kepada penonton. Para penonton berikutnya bisa ikut serta dalam tarian jika dikalungi sampur (selendang) dari ronggeng, dan bebas bergerak menari tanpa patokan gerakan.

Melihat sejarah panjang Ronggeng Gunung dan Ronggeng Amen ini merupakan warisan kebudayaan khas Pangandaran. Pemerintah setempat pun berupaya untuk melakukan pembinaan terhadap berbagai kelompok seni Ronggeng agar lebih diterima oleh kalangan masyarakat pada masa kini. (EK)

Editor: Admin
								
    Bagikan  

Berita Terkait